Senin, 27 Januari 2014

Love and Pain

Nama : Prista Dica Kurnia
Kelas : 1PA10
NPM : 16513934

Catatan: Karya ini adalah murni buatan saya, mohon jangan dicopy dalam bentuk apapun! :)





            Waktu menunjukkan pukul 10 malam, terlihat seorang anak laki-laki bertubuh kurus tinggi, berkulit putih dengan gaya rambut spike memarkir motor di sembarang tempat di pekarangan luas sebuah rumah besar bercat putih susu, berpagar hitam yang dijaga oleh dua orang satpam.
“Darimana saja kau? Sudah dua hari tidak pulang, kenapa kau menghiraukan kondisi kesehatan mu? Bagaimanaa jika kau kambuh? Siapa yang repot nanti!” Seorang perempuan berambut panjang sebahu berkulit putih keluar dari kamar menghampirinya.
“Tsk Masih mending aku pulang, daripada orangtua mu yang tidak pernah terlihat, entah pernah pulang atau tidak juga aku tak yakin. Dan aku tidak peduli dengan kondisi ku, bahkan jika aku mati mungkin mereka tidak akan sempat datang ke pemakaman ku” Jawabnya dengan nada kesal.
“Itu orangtua mu juga! Aku tau perasaanmu aku juga merasakannya, tapi bagaimana pun juga mereka tetap orangtua kita, kau harus menghormatinya!” suasana pun menjadi tegang, mbok Ijah dan mang Karjo yang sudah bekerja dirumah itu sejak kedua kakak beradik itu kecil pun sudah hapal benar dengan situasi ini. Mereka memilih tidak ikut campur dan kembali masuk ke dalam.
“Orangtua ya, dimana mereka saat dulu pengambilan raport kita disekolah? Dimana mereka saat aku berperan dalam pementasan di sekolah? Dimana mereka saat acara hari Ibu disekolah? Disaat yang lain ditemani orangtua mereka, dan kita hanya duduk berdua sambil memandang kearah pintu berharap mereka datang. Tapi apa? Mereka tidak pernah datang SEKALI PUN. Apakah itu yang dinamakan orangtua? Jawab aku kak!” Nada bicara Vino pun meninggi.
“.......kau benar, mereka memang tidak pernah datang. Tapi...tapi aku yakin suatu hari nanti mereka menyadari kesalahan mereka.” Suara Melody bergetar, matanya mulai berkaca-kaca. Ia ingat betul semua kejadian yang dibilang oleh adiknya yang usianya terpaut 2 tahun dengannya itu. Mereka yang sejak kecil hanya diurus oleh Mbok Ijah dan Mang Karjo, sementara orangtua nya sibuk dengan urusan bisnisnya.
“Kapan? Saat salah satu dari kita nanti mati baru mereka menyadarinya? Kenapa kau begitu yakin? Aku rasa ‘orangtua’ itu hanyalah sebuah status saja. Bahkan, mungkin mereka lupa memiliki dua orang anak.” Vino kemudian bangkit dan menuju ke kamarnya, meninggalkan kakaknya yang masih berdiri disana.
            Mendengar semua ucapan adiknya itu hanya bisa membuat Melody terdiam, bibirnya bergetar dan air mata yang sejak tadi ditahannya kini deras mengalir di pipi. ‘Apakah benar semua yang diucapkan adiknya itu tentang harapannya agar orangtua mereka sadar dan mau berubah itu adalah sebuah harapan bodoh yang tidak mungkin terjadi? Apakah keajaiban di dunia ini sudah tidak ada?’ pertanyaan-pertanyaan itulah yang kini mulai berkecamuk dalam pikirannya.


            Vino memasuki sebuah kafe bernuansa klasik di daerah Jakarta  bermaksud menenangkan pikirannya atas kejadian pertengkaran dengan kakaknya kemarin, sekaligus mengunjungi sahabat lamanya yang menjadi pemilik kafe itu. Sebenarnya ia sama sekali tidak ingin bertengkar,  justru dia amat menyayangi kakaknya itu. Ia hanya ingin menyadarkan kakaknya agar tidak terlalu berharap pada orangtua nya dan hanya akan mendapat rasa kecewa nantinya.
“Heyoo Vino, sudah lama tidak terlihat kemana saja kau? Haha” Martin langsung menyambut ketika melihatnya masuk ke kafe nya. Tetapi Vino menghiraukan dan malah memperhatikan seorang perempuan berwajah sedikit oriental bertubuh langsing dengan senyum manis diwajah nya yang sedang memainkan biola untuk menghibur pengunjung yang datang.
“Itu siapa? Aku baru pertama melihatnya disini”
“Oh dia, namanya Tania dia memang baru disini. Suara biola nya begitu indah bukan?” Jawab Martin sambil ikut menikmati alunan nada dari piano yang dimainkan oleh Tania.
“Tapi kenapa hanya instrument saja? Dia tidak bisa bernyanyi?” kata Vino dengan penuh tanda tanya di wajahnya.
“Ya memang begitulah dia, ngomong-ngomong kau kesini hanya duduk dan melihat saja? Tidak ada niat memesan? Hahaha”
“Haha kau ini, aku pesan cappucino dan choco lava seperti biasa ya”
Vino pun memilih meja yang letaknya bisa melihat Tania dengan jelas. Sepanjang Tania memainkan lagu-lagu dengan biolanya Vino selalu memperhatikan nya, tak sedetik pun ia lewatkan. Dan tidak terasa waktu menunjukkan pukul 10 malam yang artinya sudah saatnya kafe itu tutup.
“Ekhem, hei kau sangat pintar bermain biola ya. Walau aku tidak mengerti lagu yang hanya instrument tetapi lagu-lagumu terdengar sangat indah” Vino menghampiri Tania yang sedang membereskan biola nya, tetapi Tania hanya membalas perkataan Vino dengan senyum indahnya dan kembali meneruskan kegiatannya.
“Kau baru disini ya? Hm..kenapa kau hanya memainkan instrument saja?” Lagi-lagi Tania hanya tersenyum, merundukkan sedikit kepalanya untuk memberi salam dan kemudian beranjak perlahan pergi. Vino sangat bingung melihat sikap Tania ‘Sombong sekali dia’ batinnya.
“Hei Martin, aku pulang dulu ya” Vino menghampiri Martin yang sedang membantu karyawan nya untuk menutup kafe.
“Iya, sering kesini ya”
            Vino memacu motor sportnya dengan kecepatan yang bisa dibilang pelan, karna ia mau menikmati suasana malam itu, tetapi tiba-tiba ia menghentikan motornya ketika mendengar sebuah teriakan seorang perempuan didepan gang yang tidak begitu jauh dari kafe Martin. Dengan cepat ia berlari ke arah suara itu berasal dan mendapati Tania sudah dikepung oleh dua orang preman bermuka sangar dengan tato yang terukir di kedua lengan mereka.
“Hei berhenti kalian!” Vino pun langsung mengeluarkan semua jurus bela diri yang ia pelajari di sekolah dulu. Vino memang terkenal tidak baik dan suka berkelahi, tetapi sebenarnya ia adalah anak yang pintar dan berbakat dalam bidang olahraga, tetapi karna penyakitnya itulah yang membuat Vino berhenti dari olahraga yang berat. Dan tidak butuh waktu lama Vino dapat melumpuhkan dua orang preman itu.
“Kau tidak apa-apa kan” Vino menghampiri Tania yang masih terisak akibat kejadian yang baru di alaminya. Tania hanya menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan Vino.
“Sudah jangan menangis, mereka sudah pergi kau aman sekarang.” Vino menghapus air mata yang masih tersisa di kedua pipi Tania dengan sapu tangan miliknya.
*Aku tidak apa-apa, terima kasih* Tania menjawab pertanyaan Vino dengan bahasa isyarat. Vino terdiam melihat respon Tania akan pertanyaan nya. Sekarang ia tahu kenapa Tania tidak menjawab pertanyaannya tadi, dan kenapa Tania hanya memainkan musik instrument saja. Itu karna Tania bisu. Vino tidak mengerti bahasa isyarat karna ia tidak pernah mempelajari sebelumnya, tetapi melihat Tania tersenyum itu sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja.
“Rumah mu dimana? Aku antar saja ya sudah malam juga, aku takut mereka kembali lagi”
*Tidak usah, takut merepotkan mu*
“Maaf...tapi aku tidak mengerti maksudmu hehe” Kata Vino sambil menggaruk rambutnya yang sebenarnya tidak gatal. Tania tertawa kecil melihat tingkah Vino, ia pun mengeluarkan buku catatan kecil miliknya dan menuliskan ‘Tidak perlu, takut merepotkan mu’ pada Vino.
“Oh sama sekali tidak, sudah aku antar saja. Ngomong-ngomong namaku Vino, kau Tania kan?” Tania kembali menulis pada bukunya ‘Darimana kau tahu?’
“Tadi aku diberi tahu oleh Martin hehe. Yasudah ayo cepat keburu tambah malam loh” Mereka pun beranjak pergi dari tempat itu menuju rumah yang tidak terlalu besar yang jaraknya beberapa blok dari situ.
Semenjak itu, bayangan Tania tidak bisa hilang dari pikiran Vino. Vino yang sejak dulu terkenal sebagai cowok yang dingin, kini berubah seperti anak remaja yang baru merasakan cinta pertamanya.
            Minggu yang cerah, Vino memilih menghabiskan waktu dengan Melody. Ia menemani nya berbelanja di sebuah Mall di daerah Jakarta Selatan. “Kaak ayolah masih lama membeli bajunya? Kaki ku sudah pegal” Vino merengek seperti anak kecil pada kakaknya yang sedari tadi sibuk memilih baju.
“Masih lama Vin, ya sudah kau pergi saja melihat-lihat toko yang lain siapa tau tertarik untuk membeli sesuatu. Daripada menunggu ku disini sampai bosan”
“Hhh...ya sudah, kalau sudah hubungi aku ok?” Melody hanya menganggukan kepalanya dan kembali pada kegiatan nya. Vino memilih pergi ke toko musik, tetapi langkahnya terhenti ketika ia melewati toko buku dan melihat sebuah buku dipajang bertuliskan “Cara Cepat Mempelajari Bahasa Isyarat”
‘Bahasa Isyarat? Tania...’ itulah yang terbenak dalam pikirannya, tanpa pikir panjang ia masuk dan langsung membeli buku itu.
“Bahasa isyarat? Buat apa kau membeli buku itu?” Tanya Melody saat mereka berada di dalam mobil dan sedang menuju kembali ke rumah.
“Untuk seseorang” jawabnya tersipu malu
“Kau menyukai seseorang? Apakah ia....bisu?” Tanya Melody perlahan takut Vino tersinggung akan pertanyaan nya.
“Iya dia bisu, tapi dia perempuan yang tidak biasa kak. Nanti aku akan kenalkan padamu”
“Apapun yang terbaik untuk adikku pasti aku akan mendukungnya” Kata Melody mengacak rambut Vino yang sedang menyetir.
            Sampai dirumah ia langsung ke kamarnya dan mempelajari buku itu. Selama seminggu ia sibuk mempelajari semua yang ada di buku itu, ia ingin sekali berkomunikasi dengan Tania tanpa harus merepotkan Tania menuliskan dibuku catatan nya. Sabtu malam, ia kembali ke kafe Martin, ia ingin mempraktekan bahasa isyarat yang ia pelajari pada Tania. Begitu ia sampai di depan pintu masuk, suara alunan nada yang merdu dari biola Tania sudah bisa terdengar. Membuat senyuman dibibir Vino semakin merekah.
“Hei Martin” Vino menyapa Martin yang sedang mengawasi para pegawainya bekerja.
“Hei Vin, kau kemari untuk menemui sahabatmu ini atau....Tania? hahaha” mendengar perkataan Martin membuat wajah Vino memerah.
“A-ah kau ini, tentu saja kau...dan juga Tania hahaha. Oh iya, em..kau kenapa tidak memberi tahuku dari awal jika ia bisu?”
“Loh  aku pikir kau sudah tahu dari saat kau bertanya padanya minggu lalu.”
“Tidak, justru aku mengiranya sombong waktu itu haha” Kemudian Vino melihat Tania yang sedang memainkan biolanya seperti biasa, Tania menyadari keberadaan Vino dan melemparkan senyum manis padanya. Vino pun duduk dan menunggu sampai Tania selesai memainkan semua lagu-lagunya.
“Hei, apa kabar?” Vino menghampirinya. Tania tersenyum dan langsung mengeluarkan buku catatan dan menuliskan ‘Aku baik-baik saja’
 Vino tersenyum dan membalasnya dengan bahasa isyarat. *Bagus lah kalau begitu * Tania terkejut melihat Vino bisa menggunakan bahasa isyarat karna yang ia tahu Vino sama sekali tidak bisa bahasa isyarat.*Sejak kapan kau bisa bahasa isyarat?* tanya Tania
*Sejak aku bertemu denganmu. Aku ingin kita berkomunikasi dengan lancar tanpa harus merepotkanmu untuk menulis di buku* Melihat semua yang diisyaratkan Vino, membuat Tania terharu, matanya berkaca-kaca dan hatinya mulai berdegup dengan kencang. Baru kali ini ia merasakan perasaan seperti ini. Lalu Tania mengeluarkan sebuah sapu tangan berwarna biru dan memberikan nya pada Vino.
*Ini milikmu yang kau pinjamkan padaku* Vino kembali tersenyum dan kembali memasukkan sapu tangan itu ke dalam tas kecil milik Tania. “Untukmu saja.”
            Semenjak saat itu, mereka berdua menjadi lebih dekat, sudah sebulan ini Vino sering sekali mengunjungi kafe milik Martin itu. Kini Vino menjadi pribadi yang periang dan bersemangat, ia sudah tidak pernah lagi berkumpul dengan teman-temannya yang tidak baik. Melody sangat bingung melihat perubahan sikap yang terjadi pada Vino sekaligus ia senang karna adik manisnya yang dulu kini telah kembali lagi.
            Malam itu, seperti biasanya Vino mengunjungi kafe Martin dan duduk ditempat biasanya menunggu Tania selesai memainkan semua lagunya, mengobrol banyak hal tentang kehidupan mereka dan mengantarnya pulang. Itu semua sudah bagaikan kegiatan sehari-hari baginya saat ini.
 “Kenapa tiba-tiba hujan deras seperti ini” Ucap Vino sambil memandangi hujan yang turun dari langit.
“Sudah tidak apa-apa, beri tahu keluarga mu dulu agar mereka tidak khawatir. Oh iya Tania buatkan teh hangat gih.” Tania pun mengangguk dan segera masuk ke dalam.
“Ah tante, saya jadi merepotkan tante dan Tania”
“Tidak apa, oh iya tante sudah mendengar nya dari Tania, tante sangat berterima kasih telah menolongnya waktu itu. Tante senang ia bisa berteman dengan anak baik sepertimu.” Kata Ibu Tania.
“Ah bisa saja tante, iya sama-sama tan justru saya yang bersyukur bertemu gadis seperti Tania, ia mengajari saya banyak hal untuk tidak menyalahkan takdir dan terus semangat.” Mendengar perkataan Vino membuat ibu Tania tersenyum haru tetapi ada getiran disana mengingat apa yang pernah dialami Tania dulu.
“Tania sebenarnya dulu bisa berbicara normal Vin”
“A-ah benarkah??” Vino terkejut mendengarnya dan memandang ibu Tania dengan penuh keingin tahuan.
“Iya, bahkan dia sangat pintar menyanyi. Tapi nasib baik tidak berpihak padanya, pada usia 8 tahun ia melihat ayahnya tertembak saat rampok masuk ke rumah kami, ia terlalu shock saat kejadian, ia berteriak dengan sangat keras hingga pita suaranya rusak. Aku sangat terpukul atas dua kejadian pahit itu, tapi aku tetap berpikir positif, aku bersyukur Tania masih bisa selamat walau harus kehilangan suaranya.” Ucap Ibu Tania dengan nada lirih dan air mata yang mulai berlinang mengingat semua kejadian itu. Vino terdiam mendengar semua cerita itu, ia kini sadar seharusnya ia tidak boleh menyia-nyiakan hidupnya dengan sesuatu yang tidak penting hanya karna ia mempunyai masalah dengan orangtua nya, seharusnya ia tetap bersyukur dengan apa yang ia punya karna diluar sana masih banyak orang yang bernasib seperti dia atau malah lebih buruk.
“Tante saya turut berduka untuk suami tante. Saya sangat mengagumi tante dan Tania yang begitu tegar menjalani nya” kata Vino dengan nada prihatin. Tania kembali sambil membawa nampan berisikan tiga gelas teh hangat, namun Tania bingung menatap ibunya yang masih tersisa air mata di pelupuk matanya.
“Ibu tidak apa-apa Tania, mata ibu hanya perih tadi.” Ibu tania tersenyum dan menghapus air matanya.
            Malam itu mereka benar-benar seperti keluarga kecil, berbincang sambil minum teh dan sesekali tertawa. Hujan pun reda dan Vino pamit pulang pada mereka.

             “Vin, boleh aku masuk?” Vino menoleh dan melihat kakaknya berada diambang pintu kamarnya.
“Boleh kak masuk saja” Vino kembali membaca buku yang sejak tadi mencuri seluruh perhatian nya.
“Kau sedang membaca apa? Serius sekali”
“Buku tentang motivasi hidup kak, seru deh. Di buku ini menceritakan pengalaman hidup orang-orang yang tadinya terpuruk sampai orang yang cacat fisik tetap berjuang, kau juga harus membacanya!” kata Vino sambil memperlihatkan cover buku itu pada Melody.
“Wah tumben sekali kau membaca buku seperti ini?” Melody menatapnya bingung dan terkejut karna Vino saat ini telah benar-benar berubah.
“Hehe iya, Tania yang memberi tahuku tentang buku ini, ia juga mengajari ku banyak hal dan kau tahu tidak? dia dulu juga bisa berbicara seperti kita kak. Namun saat masih kecil ia mengalami kecelakaan dan pada saat itu ia berteriak dengan sangat kencang karna terlalu takut sampai merusak pita suaranya. Aku benar-benar sadar saat ini bahwa memang tidak ada satupun manusia yang sempurna. Dia sungguh gadis yang luar biasa” Mendengar Vino kembali menceritakan gadis itu membuat Melody sangat penasaran. Ia ingin sekali berjumpa dengan Tania, gadis yang telah membuat Vino kembali tersenyum dan bersemangat.
“Dia mengalami itu?? Sungguh gadis yang sangat kuat dan tegar, kalau aku di posisi dia mungkin jiwaku ikut terguncang karna tidak bisa bicara lagi. Kapan kau mau mengenalkan ku padanya? Aku sangat ingin bertemu dengannya”
“Nanti kak, aku mencari waktu yang tepat hahaha” jawab Vino sambil menunjukkan cengiran nya.

           
            “Hei, seperti biasa ya alunan nada dari biola mu sangat indah. Aku heran kenapa tidak ada komposer yang sadar akan bakatmu dan memasukkan kau ke dalam tim orchestra nya haha” Vino menunjukkan cengiran khas nya pada Tania yang membuat Tania ikut tersenyum.
“Oh iya, besok kau ada acara tidak? Aku ingin mengajakmu ke bioskop ada film baru yang kelihatannya menarik. Kau mau kan?”
*Boleh, kebetulan aku tidak acara* Tania kembali menunjukkan senyum manisnya yang membuat Vino terdiam sesaat, jantungnya berdegup dengan kencang dan kali ini ia yakin bahwa dia benar-benar telah jatuh cinta. Tania melambaikan tangan didepan wajah Vino, ia pun kembali tersadar dari lamunannya.
“A-ah iya? Oke besok jam 7 malam ya. Oh iya kau mau pulang kan? Biar aku antar saja” Vino langsung menarik lengan Tania, dan berpamitan pada Martin.
            Sepanjang perjalanan Vino hanya terdiam, tidak seperti Vino yang biasanya yang selalu menceritakan hal-hal lucu atau menceritakan kehidupannya dengan kakaknya. Walau Tania tidak bisa merespon semua cerita Vino dengan kata-kata tapi Vino bisa melihat respon di wajah Tania dari kaca spion motornya. Setelah 10 menit, mereka sampai, Tania turun dan mengisyaratkan terima kasih pada Vino dan mengetuk kaca helmnya yang gelap, tetapi Vino tetap terdiam dan malah memegangi dadanya yang terlihat naik turun dengan cepat dan yang memburu. Tania menjadi begitu panik, ia langsung berlari ke dalam meminta bantuan pada ibunya dan menggopoh Vino ke kursi di teras rumah mereka.
“Ibu ke rumah Pak Dani dulu meminta tolong padanya agar mengantar kita ke rumah sakit.” Ucap Ibu Tania dan langsung berlari menuju rumah Pak Dani. Tania hanya mengangguk dan memberikan minyak angin pada Vino, ia benar-benar panik dan tidak tahu harus berbuat apa. Ibunya pun kembali, mereka segera membawa Vino ke rumah sakit terdekat dengan bantuan Pak Dani. Sepanjang perjalanan Tania terus memandangi Vino yang berada disamping nya sudah tidak sadarkan diri, matanya berkaca-kaca dan air matanya mulai mengalir di kedua pelupuknya.
            Melody berlari menuju ruang dimana tempat Vino dirawat di rumah sakit itu, Ibu Tania telah menghubungi nya ketika menemukan handphone di saku jaket Vino dan melihat “Kakak” pada kontak nya.
“Hh-hh..bagaimana keadaan Vino?” kata melody pada Tania dan ibunya sambil mengatur napasnya.
“Dokter sedang memeriksa nya di dalam, kita hanya bisa berdoa agar ia baik-baik saja” jawab Ibu Tania sedangkan Tania masih terduduk di bangku tunggu dan terisak.
“Terima kasih atas bantuan anda membawa adik saya ke rumah sakit.” Melody merundukkan kepala nya dan melihat gadis yang sedang duduk, kemudian ia menghampirinya.
“Kau...Tania ya?” Tania langsung menoleh ketika namanya disebut.
“Vino sering sekali menceritakan tentang dirimu, terima kasih telah banyak membantu adik ku, perkenalkan aku Melody” Melody tersenyum dan menjulurkan tangan nya, Tania menyambut hangat tangannya sambil tersenyum. Setelah 3 jam mereka menunggu, akhirnya dokter keluar dari ruangan.
“Bagaimana keadaan Vino dok? Dia baik-baik saja kan?” Tanya Melody dengan cemas,
“Untung saja kalian cepat membawanya ke rumah sakit. Anda keluarganya?”
“Iya saya kakaknya dok” jawab Melody dengan cepat.
“Kalau begitu mari ke ruangan saya, ada sesuatu yang perlu saya bicarakan padanya” mereka pun menuju ke ruang dokter.
“Saat ini ia memang sudah siuman, tapi kondisinya tidak baik jantungnya semakin melemah. Seharusnya ia rajin terapi jantung” kata dokter sambil memberikan hasil pemeriksaan Vino pada Melody.
“t-tapi masih bisa diatasi kan dok???”
“Saya harus mengatakan ini walau berat, tapi...perkiraan waktu dia tidak lama lagi. Kemungkinan ia sembuh sangat kecil, yang bisa kita lakukan hanya melakukan perawatan intensif dan terapi untuk mengurangi rasa sakitnya” Melody bagai tersambar petir mendengar semua perkataan dokter dan membuat sekujur tubuh Melody lemas, air matanya deras mengalir membayangkan semua kemungkinan buruk yang akan terjadi nanti. Ia sungguh tidak siap jika harus kehilangan adik satu-satunya.
            Melody mengambil handphone dari sakunya dan mencoba menghubungi orangtuanya tetapi tak ada yang aktif, ‘Sebegitu sibuknya kah mereka? Hingga aku hubungi saja selalu nada sibuk’ Melody benar-benar sangat kesal sekaligus bercampur sedih, ia berjalan dengan gontai ke kamar Vino, ia melihat Vino Tania dan ibunya sedang bercanda dan ia menghampiri mereka dengan memasang senyum, ia tidak mau Vino tahu semua itu dan ia juga tidak sampai hati untuk memberi tahunya.
“Hai kak, kau darimana?” tanya Vino.
“Aku dari ruang dokter tadi, oh iya aku sudah mencoba menghubungi ayah dan ibu tetapi selalu nada sibuk, aku akan mencobanya lagi nanti.” Ucap Melody berusaha tegar.
Vino tersenyum miris mendengar tentang ayah ibunya. “Haha, sudahlah percuma menghubungi mereka kak. Apa yang dokter katakan kak? Aku baik-baik saja kan?”
“Iya, tapi kau harus dirawat Vin, kau harus terapi.”
“Dirawat? Yang benar saja aku bisa mati karna bosan disini kak” bibir Vino mengerucut sebal, tiba-tiba Tania mencolek pundaknya.
*Aku akan selalu mengunjungi mu disini dan menemani agar kau tidak bosan* Vino pun tersenyum malu melihatnya, dan ia pun setuju untuk dirawat.
            Tania pun setiap hari datang untuk menemani Vino, memainkan biola membawakan buku cerita dan menasihatinya agar rajin mengikuti terapi. Sudah hampir dua minggu Vino dirawat, wajahnya semakin sayup dan lesu, hanya kemajuan kecil yang ia rasakan selama terapi.
“Kak, kita pulang saja aku lelah begini terus.” Celetuk Vino pada kakaknya yang sedang mengupas buah untuknya.
“Tidak bisa Vin, kau harus tetap disini. Memang kau tidak mau sembuh? Dan juga tadi aku berhasil menghubungi ibu, ia khawatir dengan mu dan dia juga bilang akan segera kemari bersama ayah.” Jawab Melody, tersirat nada ceria disana. Vino terdiam ‘Ayah ibu mau kemari? Aku tidak percaya...atau mereka hanya alasan saja agar kakak berhenti menghubungi nya’ batinnya.
“Vin? Kok diam?”
“A-ah iya? Tidak, tidak apa-apa kok. Aku hanya terkejut saja mereka mau datang. Kak....aku tidak yakin aku akan sembuh, ya maksudku coba saja kau lihat aku? Apakah selama dirawat aku terlihat lebih baik? Aku merasa diriku sebelum dirawat malah jauh lebih baik ketimbang saat ini. Aku pikir ini semua hanya membuang waktu, ditambah lagi mimpi ku yang semalam itu seperti sangat nyata.” Vino memelankan suaranya.
“Memang kau mimpi apa?”
“Aku mimpi...aku telah meninggal kak, aku melihat tubuhku terbaring diranjang ini dan aku juga melihat kau bersama yang lain menangisi ku” katanya sambil menundukkan kepalanya. Melody terdiam mendengarnya, kata-kata dokter itu seakan terngiang kembali di telinganya, ia langsung memeluk erat adiknya sambil menangis.
“Kau tidak boleh bicara seperti itu, kau akan sembuh dan kau pasti sembuh Vin! Itu hanya mimpi kau tidak perlu takut.” Pelukannya semakin erat seakan tidak ingin sedetik pun meninggalkan adiknya.
“Iya, baiklah aku akan tetap dirawat sudah kau jangan menangis lagi. Aku sangat menyayangi mu kak” Vino membalas pelukan kakaknya dengan hangat.
            Esok paginya, waktu menunjukkan pukul 10 pagi dan tidak seperti biasanya Tania sudah mengunjungi nya. “Hai, tumben masih pagi sudah kemari. Kau merindukan ku?” Tania hanya tersenyum mendengar perkataan Vino. Ia membawakan beberapa majalah dan buku untuknya.
“Wah tempat-tempat wisata ini indah sekali, ah aku jadi ingin liburan andai saja aku tidak perlu dirawat disini.” Bibir Vino mengerucut sebal membuat Tania kembali tersenyum.
*Maka itu kau harus cepat sembuh, kalau kau sudah sembuh aku janji akan menemani kau liburan*
“Benarkah? Ah tapi itu pasti lama sekali. Aku ingin sekarang, bosan disini terus. Kita pergi sekarang ya?” rengek Vino seperti anak kecil pada Tania, membuat Tania bingung disatu sisi ia harus melarang Vino tapi disisi lain dia kasihan dengannya yang begitu letih dan bosan akibat terapi-terapi yang dijalaninya.
“Ayolah, hari ini saja mumpung kakak ku juga sedang ada jadwal seharian ini.” Vino kembali merengek dan memandangi nya penuh harap.
*Baiklah, tapi kau tidak boleh terlalu capek dan bawa obatmu ok?*
“Siaapp” Vino menunjukkan cengiran lebarnya.
            Setelah berhasil mengendap-endap keluar dari rumah sakit, mereka memilih taman hiburan untuk tujuannya. Vino ceria sekali seperti anak kecil yang sedang diajak berwisata, mulai dari mencoba permainan di stand, mencoba gula-gula sampai ia sering sekali menarik lengan Tania untuk mencoba wahana-wahana disana, tentu yang aman untuk kondisinya. Tidak terasa, mereka sudah seharian berada disana langitpun sudah berwarna jingga.
*Ayo kita pulang, aku takut kakakmu telah kembali* ajak Tania
“Yah..habis naik bianglala ya? Pemandangan akan sangat indah jika kita berada diatas sana pada sore hari.” Kata Vino sambil menunjuk keatas puncak bianglala, ia langsung menarik kembali lengan Tania ke bianglala itu tanpa persetujuan darinya dan tanpa sadar mereka sudah ada di dalam salah satu bilik bianglala itu. Selama bianglala berputar Tania cemas dan takut bila  tiba-tiba Vino kambuh dan Melody telah kembali ke kamar Vino dirumah sakit.
“Lihat pemandangan nya sangat indah bukan?” kata Vino sambil menunjuk keluar kaca, Tania mencoba melihat keluar dan memang benar sangat indah, lampu kota mulai menerangi suasan yang semakin gelap itu, terlihat sunyi dan tenang dari atas sana.
“Kau tau tidak? Saat aku kecil dulu, aku mempunyai keinginan akan membawa orang yang istimewa bagiku untuk melakukan ini.” Tania langsung menoleh ke arah Vino yang kini bersandar pada kursi, terlihat wajahnya yang begitu lelah dan matanya yang sayup tetapi terukir senyum bahagia disana.
“Iya istimewa, bagiku kau sangat istimewa. Kau gadis yang luar biasa, aku mengagumi mu bahkan aku... menyukaimu. Terima kasih telah mengajari ku banyak hal selama tiga bulan kita kenal ini, i love you Tania” Wajah Vino memerah dan jantungnya berdegup kencang saat mengatakan semua itu. Tania menjadi salah tingkah mendengarnya, tentu ia juga menyukai laki-laki yang ada disampingnya itu. Tetapi ia tidak pernah berpikir bahwa Vino juga menyukainya yang baginya dirinya itu sangat biasa juga bisu, Vino bisa mendapat gadis yang jauh lebih baik darinya.
*Apakah kau tidak malu jika pergi denganku? Aku sangat biasa* Vino tertawa pelan melihatnya.
“Kenapa aku harus malu? Aku tulus menyayangi mu, kau tidak biasa justru kau luar biasa. Aku sangat beruntung bertemu denganmu.” Jawab Vino dengan tegas tetapi dengan nada lemah karena kondisinya yang ia rasa semakin buruk saat itu.
*I...i love you too* Vino sangat bahagia melihat Tania memberikan isyarat itu padanya. Ia bahagia karna gadis yang ia cintai juga mencintainya.
“Terima kasih telah datang ke kehidupan ku.” Vino memeluknya erat dan membisikkan kata-kata itu padanya. Tania tersenyum haru mendengar dan membalas pelukannya. Handphone disaku jaket Vino tiba-tiba berdering. “dari kakak, sebentar ya.” Vino pun mengangkatnya.
“Halo, Vino kamu dimana?! Kenapa kau keluar tanpa memberi tahu kakak? Kau pergi sendiri? Cepat kembali ayah ibu juga sudah datang, mereka mengkhawatirkan mu.” Pertanyaan bertubi-tubi pun diluncurkan oleh Melody.
“Aku..aku ada di taman ria dekat rumah sakit kok, aku bersama Tania. Iya ini juga aku akan kembali.”
“Kau tunggu saja disana kami yang akan menjemputmu.” Tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang tidak asing bagi Vino, kali ini bukan Melody yang bicara tetapi ayahnya. Ayahnya yang begitu ia rindukan. Vino hanya terdiam dan mengakhiri pembicaraan itu tanpa menjawab sepatah kata. Bianglala sudah berputar dua kali dan itu tandanya giliran mereka telah berakhir, mereka pun keluar dari bilik itu.
“Ayo, kita tunggu di pintu keluar saja, kakak akan menjemput kita.” Vino menggandeng tangan Tania menuju pintu keluar, Tania hanya terdiam.
“Kau tidak perlu cemas, aku tidak apa-apa hanya letih makanya aku berjalan pelan. Aku yang akan menjelaskan ke semuanya bahwa aku yang memaksa mu menemani ku.”
            Mereka duduk disalah satu bangku taman dekat situ menunggu keluarga Vino datang. Terlihat wajah Vino yang semakin pucat. Setelah 10 menit menunggu, keluarga Vino pun datang.
“Kau tidak apa-apa kan sayang?” Ibu Vino langsung memeluk Vino dan menggeser posisi duduk Tania.
“Kau siapa?? Beraninya mengajak keluar Vino, kau tahu kan kondisinya!” Ibu Vino membentak Tania yang ada disampingnya.
“Ibu! Jangan salahkan Tania, aku yang memaksanya untuk menemani ku.” Bela Vino. Mereka pun langsung membawa Vino yang mulai kehilangan kesadarannya masuk ke mobil.
“Tidak apa-apa, ini bukan salahmu. Mereka memang seperti itu, tolong maafkan orangtua ku.” Melody mengelus punggung Tania yang mulai terisak. “Sudah ayo kita juga ke rumah sakit, naik mobilku saja.” Melody mengajak Tania ke mobilnya dan menyusul ke rumah sakit.
            Terlihat disana kedua orangtua Vino menunggu dengan cemas didepan ruangan, saat ini keadaan Vino sangat kritis. “Ini semua karna mu!” Maki Ibu Vino saat melihat Tania. “Ibu cukup! Ini bukan salah Tania, justru dialah yang membuat Vino kembali bersemangat, dialah yang mengembalikkan senyum di wajah Vino. Kemana kalian selama ini? Kenapa baru sekarang kalian mengkhawatirkan keadaan nya? Apa kalian tidak sadar selama ini kalian telah menelantarkan aku dan Vino” Nada bicara Melody meninggi, air matanya mulai mengalir mengeluarkan seluruh emosi yang ada di dirinya. Kedua orangtua Vino terdiam, mereka sadar memang benar selama ini mereka tidak pernah ada waktu untuk anak-anaknya. “Kau benar...maafkan kami yang begitu egois, maafkan kami yang tidak pernah ada waktu untuk kalian, maafkan kami Tania telah salah menilai mu.” Kata kedua orangtua Vino sambil terisak. Tak lama dokter keluar dari ruangan.
“Kami telah melakukan semampu kami tapi maaf....nyawa Vino tidak bisa terselamatkan.” Kata-kata itu sukses membuat mereka yang mendengarnya menangis dan langsung berhambur masuk ke ruangan. Terlihat disana Vino sudah terbaring pucat. Melody langsung terduduk, lututnya begitu lemas tidak kuat melihat apa yang ada didepannya, air mata mengalir deras dari kedua pipinya. Kedua orang tua Vino masih terus menggoyangkan tubuhnya sambil memanggil namanya berharap ia akan bangun, sementara Tania berdiri mematung memandangi orang yang dicintainya kini terbujur kaku, air matanya berlinang namun ia menangis dalam diam tak ada suara yang keluar dari bibirnya.  Baru saja ia melihat Vino yang amat bahagia, kini ia telah pergi begitu saja.


“Kau adalah orang istimewa untukku....Terima kasih telah datang ke kehidupanku....Aku sangat menyukaimu” Kata-kata itu terngiang kembali di telinga Tania, kini ia berada tepat didepan batu nisan orang yang dicintainya itu. Upacara pemakaman berjalan dengan lancar, orang-orang telah kembali pulang dan saat ini tinggal Tania, ibunya dan keluarga Vino.
“Rasanya baru kemarin aku melihatnya tampil dipementasan sekolah, ia pergi begitu cepat.” Kata Melody dengan senyum getir yang berada disamping nya memandangi batu nisan itu. Tania mengelus punggung Melody untuk menenangkan nya.
“Tania, sekali lagi terima kasih telah mengubah Vino kembali menjadi anak yang baik.” Tania hanya mengangguk dan tersenyum.
“Ayo mari kalian kami antar pulang” kata ayah Vino pada Tania dan ibunya. “Terima kasih” jawab Ibu Tania sambil tersenyum dan mengajak Tania “Ayo Tania”
*Sebentar* Tania kembali memandangi batu nisan itu dan mengusap-usapnya. ‘Terima kasih juga kau telah hadir di hidupku, terima kasih kau mau menerima ku apa adanya. Selamat jalan Vino, cinta pertama ku, aku tak akan melupakan mu.’  Tania mencium batu nisan itu dan bangkit ke arah ibunya dan mereka pun beranjak meninggalkan pemakaman itu.
-END