Kelas : 1PA10
NPM : 16513934
Catatan: Karya ini adalah murni buatan saya, mohon jangan dicopy dalam bentuk apapun! :)
Waktu menunjukkan pukul 10 malam,
terlihat seorang anak laki-laki bertubuh kurus tinggi, berkulit putih dengan
gaya rambut spike memarkir motor di sembarang tempat di pekarangan luas sebuah
rumah besar bercat putih susu, berpagar hitam yang dijaga oleh dua orang
satpam.
“Darimana
saja kau? Sudah dua hari tidak pulang, kenapa kau menghiraukan kondisi
kesehatan mu? Bagaimanaa jika kau kambuh? Siapa yang repot nanti!” Seorang
perempuan berambut panjang sebahu berkulit putih keluar dari kamar
menghampirinya.
“Tsk
Masih mending aku pulang, daripada orangtua mu yang tidak pernah terlihat,
entah pernah pulang atau tidak juga aku tak yakin. Dan aku tidak peduli dengan
kondisi ku, bahkan jika aku mati mungkin mereka tidak akan sempat datang ke
pemakaman ku” Jawabnya dengan nada kesal.
“Itu
orangtua mu juga! Aku tau perasaanmu aku juga merasakannya, tapi bagaimana pun
juga mereka tetap orangtua kita, kau harus menghormatinya!” suasana pun menjadi
tegang, mbok Ijah dan mang Karjo yang sudah bekerja dirumah itu sejak kedua
kakak beradik itu kecil pun sudah hapal benar dengan situasi ini. Mereka
memilih tidak ikut campur dan kembali masuk ke dalam.
“Orangtua
ya, dimana mereka saat dulu pengambilan raport kita disekolah? Dimana mereka
saat aku berperan dalam pementasan di sekolah? Dimana mereka saat acara hari
Ibu disekolah? Disaat yang lain ditemani orangtua mereka, dan kita hanya duduk
berdua sambil memandang kearah pintu berharap mereka datang. Tapi apa? Mereka
tidak pernah datang SEKALI PUN. Apakah itu yang dinamakan orangtua? Jawab aku
kak!” Nada bicara Vino pun meninggi.
“.......kau
benar, mereka memang tidak pernah datang. Tapi...tapi aku yakin suatu hari
nanti mereka menyadari kesalahan mereka.” Suara Melody bergetar, matanya mulai berkaca-kaca.
Ia ingat betul semua kejadian yang dibilang oleh adiknya yang usianya terpaut 2
tahun dengannya itu. Mereka yang sejak kecil hanya diurus oleh Mbok Ijah dan
Mang Karjo, sementara orangtua nya sibuk dengan urusan bisnisnya.
“Kapan?
Saat salah satu dari kita nanti mati baru mereka menyadarinya? Kenapa kau
begitu yakin? Aku rasa ‘orangtua’ itu hanyalah sebuah status saja. Bahkan,
mungkin mereka lupa memiliki dua orang anak.” Vino kemudian bangkit dan menuju
ke kamarnya, meninggalkan kakaknya yang masih berdiri disana.
Mendengar semua ucapan adiknya itu
hanya bisa membuat Melody terdiam, bibirnya bergetar dan air mata yang sejak
tadi ditahannya kini deras mengalir di pipi. ‘Apakah benar semua yang diucapkan
adiknya itu tentang harapannya agar orangtua mereka sadar dan mau berubah itu
adalah sebuah harapan bodoh yang tidak mungkin terjadi? Apakah keajaiban di
dunia ini sudah tidak ada?’ pertanyaan-pertanyaan itulah yang kini mulai
berkecamuk dalam pikirannya.
Vino memasuki sebuah kafe bernuansa
klasik di daerah Jakarta bermaksud
menenangkan pikirannya atas kejadian pertengkaran dengan kakaknya kemarin,
sekaligus mengunjungi sahabat lamanya yang menjadi pemilik kafe itu. Sebenarnya
ia sama sekali tidak ingin bertengkar,
justru dia amat menyayangi kakaknya itu. Ia hanya ingin menyadarkan
kakaknya agar tidak terlalu berharap pada orangtua nya dan hanya akan mendapat
rasa kecewa nantinya.
“Heyoo
Vino, sudah lama tidak terlihat kemana saja kau? Haha” Martin langsung
menyambut ketika melihatnya masuk ke kafe nya. Tetapi Vino menghiraukan dan
malah memperhatikan seorang perempuan berwajah sedikit oriental bertubuh
langsing dengan senyum manis diwajah nya yang sedang memainkan biola untuk
menghibur pengunjung yang datang.
“Itu
siapa? Aku baru pertama melihatnya disini”
“Oh dia,
namanya Tania dia memang baru disini. Suara biola nya begitu indah bukan?”
Jawab Martin sambil ikut menikmati alunan nada dari piano yang dimainkan oleh
Tania.
“Tapi
kenapa hanya instrument saja? Dia tidak bisa bernyanyi?” kata Vino dengan penuh
tanda tanya di wajahnya.
“Ya
memang begitulah dia, ngomong-ngomong kau kesini hanya duduk dan melihat saja?
Tidak ada niat memesan? Hahaha”
“Haha
kau ini, aku pesan cappucino dan choco lava seperti biasa ya”
Vino pun
memilih meja yang letaknya bisa melihat Tania dengan jelas. Sepanjang Tania memainkan
lagu-lagu dengan biolanya Vino selalu memperhatikan nya, tak sedetik pun ia
lewatkan. Dan tidak terasa waktu menunjukkan pukul 10 malam yang artinya sudah
saatnya kafe itu tutup.
“Ekhem,
hei kau sangat pintar bermain biola ya. Walau aku tidak mengerti lagu yang
hanya instrument tetapi lagu-lagumu terdengar sangat indah” Vino menghampiri
Tania yang sedang membereskan biola nya, tetapi Tania hanya membalas perkataan
Vino dengan senyum indahnya dan kembali meneruskan kegiatannya.
“Kau
baru disini ya? Hm..kenapa kau hanya memainkan instrument saja?” Lagi-lagi
Tania hanya tersenyum, merundukkan sedikit kepalanya untuk memberi salam dan
kemudian beranjak perlahan pergi. Vino sangat bingung melihat sikap Tania
‘Sombong sekali dia’ batinnya.
“Hei
Martin, aku pulang dulu ya” Vino menghampiri Martin yang sedang membantu
karyawan nya untuk menutup kafe.
“Iya,
sering kesini ya”
Vino memacu motor sportnya dengan
kecepatan yang bisa dibilang pelan, karna ia mau menikmati suasana malam itu,
tetapi tiba-tiba ia menghentikan motornya ketika mendengar sebuah teriakan
seorang perempuan didepan gang yang tidak begitu jauh dari kafe Martin. Dengan
cepat ia berlari ke arah suara itu berasal dan mendapati Tania sudah dikepung
oleh dua orang preman bermuka sangar dengan tato yang terukir di kedua lengan
mereka.
“Hei
berhenti kalian!” Vino pun langsung mengeluarkan semua jurus bela diri yang ia
pelajari di sekolah dulu. Vino memang terkenal tidak baik dan suka berkelahi,
tetapi sebenarnya ia adalah anak yang pintar dan berbakat dalam bidang olahraga,
tetapi karna penyakitnya itulah yang membuat Vino berhenti dari olahraga yang
berat. Dan tidak butuh waktu lama Vino dapat melumpuhkan dua orang preman itu.
“Kau
tidak apa-apa kan” Vino menghampiri Tania yang masih terisak akibat kejadian
yang baru di alaminya. Tania hanya menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan
Vino.
“Sudah
jangan menangis, mereka sudah pergi kau aman sekarang.” Vino menghapus air mata
yang masih tersisa di kedua pipi Tania dengan sapu tangan miliknya.
*Aku
tidak apa-apa, terima kasih* Tania menjawab pertanyaan Vino dengan bahasa
isyarat. Vino terdiam melihat respon Tania akan pertanyaan nya. Sekarang ia
tahu kenapa Tania tidak menjawab pertanyaannya tadi, dan kenapa Tania hanya
memainkan musik instrument saja. Itu karna Tania bisu. Vino tidak mengerti
bahasa isyarat karna ia tidak pernah mempelajari sebelumnya, tetapi melihat
Tania tersenyum itu sudah cukup untuk menunjukkan bahwa ia baik-baik saja.
“Rumah
mu dimana? Aku antar saja ya sudah malam juga, aku takut mereka kembali lagi”
*Tidak
usah, takut merepotkan mu*
“Maaf...tapi
aku tidak mengerti maksudmu hehe” Kata Vino sambil menggaruk rambutnya yang
sebenarnya tidak gatal. Tania tertawa kecil melihat tingkah Vino, ia pun
mengeluarkan buku catatan kecil miliknya dan menuliskan ‘Tidak perlu, takut
merepotkan mu’ pada Vino.
“Oh sama
sekali tidak, sudah aku antar saja. Ngomong-ngomong namaku Vino, kau Tania
kan?” Tania kembali menulis pada bukunya ‘Darimana kau tahu?’
“Tadi
aku diberi tahu oleh Martin hehe. Yasudah ayo cepat keburu tambah malam loh”
Mereka pun beranjak pergi dari tempat itu menuju rumah yang tidak terlalu besar
yang jaraknya beberapa blok dari situ.
Semenjak
itu, bayangan Tania tidak bisa hilang dari pikiran Vino. Vino yang sejak dulu
terkenal sebagai cowok yang dingin, kini berubah seperti anak remaja yang baru
merasakan cinta pertamanya.
Minggu yang cerah, Vino memilih
menghabiskan waktu dengan Melody. Ia menemani nya berbelanja di sebuah Mall di
daerah Jakarta Selatan. “Kaak ayolah masih lama membeli bajunya? Kaki ku sudah
pegal” Vino merengek seperti anak kecil pada kakaknya yang sedari tadi sibuk
memilih baju.
“Masih
lama Vin, ya sudah kau pergi saja melihat-lihat toko yang lain siapa tau
tertarik untuk membeli sesuatu. Daripada menunggu ku disini sampai bosan”
“Hhh...ya
sudah, kalau sudah hubungi aku ok?” Melody hanya menganggukan kepalanya dan
kembali pada kegiatan nya. Vino memilih pergi ke toko musik, tetapi langkahnya
terhenti ketika ia melewati toko buku dan melihat sebuah buku dipajang
bertuliskan “Cara Cepat Mempelajari Bahasa Isyarat”
‘Bahasa
Isyarat? Tania...’ itulah yang terbenak dalam pikirannya, tanpa pikir panjang
ia masuk dan langsung membeli buku itu.
“Bahasa
isyarat? Buat apa kau membeli buku itu?” Tanya Melody saat mereka berada di
dalam mobil dan sedang menuju kembali ke rumah.
“Untuk
seseorang” jawabnya tersipu malu
“Kau
menyukai seseorang? Apakah ia....bisu?” Tanya Melody perlahan takut Vino
tersinggung akan pertanyaan nya.
“Iya dia
bisu, tapi dia perempuan yang tidak biasa kak. Nanti aku akan kenalkan padamu”
“Apapun
yang terbaik untuk adikku pasti aku akan mendukungnya” Kata Melody mengacak
rambut Vino yang sedang menyetir.
Sampai dirumah ia langsung ke
kamarnya dan mempelajari buku itu. Selama seminggu ia sibuk mempelajari semua
yang ada di buku itu, ia ingin sekali berkomunikasi dengan Tania tanpa harus
merepotkan Tania menuliskan dibuku catatan nya. Sabtu malam, ia kembali ke kafe
Martin, ia ingin mempraktekan bahasa isyarat yang ia pelajari pada Tania. Begitu
ia sampai di depan pintu masuk, suara alunan nada yang merdu dari biola Tania
sudah bisa terdengar. Membuat senyuman dibibir Vino semakin merekah.
“Hei
Martin” Vino menyapa Martin yang sedang mengawasi para pegawainya bekerja.
“Hei
Vin, kau kemari untuk menemui sahabatmu ini atau....Tania? hahaha” mendengar
perkataan Martin membuat wajah Vino memerah.
“A-ah
kau ini, tentu saja kau...dan juga Tania hahaha. Oh iya, em..kau kenapa tidak
memberi tahuku dari awal jika ia bisu?”
“Loh aku pikir kau sudah tahu dari saat kau
bertanya padanya minggu lalu.”
“Tidak,
justru aku mengiranya sombong waktu itu haha” Kemudian Vino melihat Tania yang
sedang memainkan biolanya seperti biasa, Tania menyadari keberadaan Vino dan
melemparkan senyum manis padanya. Vino pun duduk dan menunggu sampai Tania
selesai memainkan semua lagu-lagunya.
“Hei,
apa kabar?” Vino menghampirinya. Tania tersenyum dan langsung mengeluarkan buku
catatan dan menuliskan ‘Aku baik-baik saja’
Vino tersenyum dan membalasnya dengan bahasa
isyarat. *Bagus lah kalau begitu * Tania terkejut melihat Vino bisa menggunakan
bahasa isyarat karna yang ia tahu Vino sama sekali tidak bisa bahasa
isyarat.*Sejak kapan kau bisa bahasa isyarat?* tanya Tania
*Sejak
aku bertemu denganmu. Aku ingin kita berkomunikasi dengan lancar tanpa harus
merepotkanmu untuk menulis di buku* Melihat semua yang diisyaratkan Vino,
membuat Tania terharu, matanya berkaca-kaca dan hatinya mulai berdegup dengan
kencang. Baru kali ini ia merasakan perasaan seperti ini. Lalu Tania
mengeluarkan sebuah sapu tangan berwarna biru dan memberikan nya pada Vino.
*Ini
milikmu yang kau pinjamkan padaku* Vino kembali tersenyum dan kembali
memasukkan sapu tangan itu ke dalam tas kecil milik Tania. “Untukmu saja.”
Semenjak saat itu, mereka berdua
menjadi lebih dekat, sudah sebulan ini Vino sering sekali mengunjungi kafe
milik Martin itu. Kini Vino menjadi pribadi yang periang dan bersemangat, ia
sudah tidak pernah lagi berkumpul dengan teman-temannya yang tidak baik. Melody
sangat bingung melihat perubahan sikap yang terjadi pada Vino sekaligus ia
senang karna adik manisnya yang dulu kini telah kembali lagi.
Malam itu, seperti biasanya Vino
mengunjungi kafe Martin dan duduk ditempat biasanya menunggu Tania selesai
memainkan semua lagunya, mengobrol banyak hal tentang kehidupan mereka dan
mengantarnya pulang. Itu semua sudah bagaikan kegiatan sehari-hari baginya saat
ini.
“Kenapa tiba-tiba hujan deras seperti ini”
Ucap Vino sambil memandangi hujan yang turun dari langit.
“Sudah
tidak apa-apa, beri tahu keluarga mu dulu agar mereka tidak khawatir. Oh iya
Tania buatkan teh hangat gih.” Tania pun mengangguk dan segera masuk ke dalam.
“Ah
tante, saya jadi merepotkan tante dan Tania”
“Tidak
apa, oh iya tante sudah mendengar nya dari Tania, tante sangat berterima kasih
telah menolongnya waktu itu. Tante senang ia bisa berteman dengan anak baik
sepertimu.” Kata Ibu Tania.
“Ah bisa
saja tante, iya sama-sama tan justru saya yang bersyukur bertemu gadis seperti
Tania, ia mengajari saya banyak hal untuk tidak menyalahkan takdir dan terus
semangat.” Mendengar perkataan Vino membuat ibu Tania tersenyum haru tetapi ada
getiran disana mengingat apa yang pernah dialami Tania dulu.
“Tania
sebenarnya dulu bisa berbicara normal Vin”
“A-ah
benarkah??” Vino terkejut mendengarnya dan memandang ibu Tania dengan penuh
keingin tahuan.
“Iya,
bahkan dia sangat pintar menyanyi. Tapi nasib baik tidak berpihak padanya, pada
usia 8 tahun ia melihat ayahnya tertembak saat rampok masuk ke rumah kami, ia
terlalu shock saat kejadian, ia berteriak dengan sangat keras hingga pita
suaranya rusak. Aku sangat terpukul atas dua kejadian pahit itu, tapi aku tetap
berpikir positif, aku bersyukur Tania masih bisa selamat walau harus kehilangan
suaranya.” Ucap Ibu Tania dengan nada lirih dan air mata yang mulai berlinang
mengingat semua kejadian itu. Vino terdiam mendengar semua cerita itu, ia kini
sadar seharusnya ia tidak boleh menyia-nyiakan hidupnya dengan sesuatu yang
tidak penting hanya karna ia mempunyai masalah dengan orangtua nya, seharusnya
ia tetap bersyukur dengan apa yang ia punya karna diluar sana masih banyak
orang yang bernasib seperti dia atau malah lebih buruk.
“Tante
saya turut berduka untuk suami tante. Saya sangat mengagumi tante dan Tania
yang begitu tegar menjalani nya” kata Vino dengan nada prihatin. Tania kembali
sambil membawa nampan berisikan tiga gelas teh hangat, namun Tania bingung
menatap ibunya yang masih tersisa air mata di pelupuk matanya.
“Ibu
tidak apa-apa Tania, mata ibu hanya perih tadi.” Ibu tania tersenyum dan
menghapus air matanya.
Malam itu mereka benar-benar seperti
keluarga kecil, berbincang sambil minum teh dan sesekali tertawa. Hujan pun
reda dan Vino pamit pulang pada mereka.
“Vin, boleh aku masuk?” Vino menoleh dan
melihat kakaknya berada diambang pintu kamarnya.
“Boleh
kak masuk saja” Vino kembali membaca buku yang sejak tadi mencuri seluruh
perhatian nya.
“Kau
sedang membaca apa? Serius sekali”
“Buku
tentang motivasi hidup kak, seru deh. Di buku ini menceritakan pengalaman hidup
orang-orang yang tadinya terpuruk sampai orang yang cacat fisik tetap berjuang,
kau juga harus membacanya!” kata Vino sambil memperlihatkan cover buku itu pada
Melody.
“Wah
tumben sekali kau membaca buku seperti ini?” Melody menatapnya bingung dan
terkejut karna Vino saat ini telah benar-benar berubah.
“Hehe
iya, Tania yang memberi tahuku tentang buku ini, ia juga mengajari ku banyak
hal dan kau tahu tidak? dia dulu juga bisa berbicara seperti kita kak. Namun
saat masih kecil ia mengalami kecelakaan dan pada saat itu ia berteriak dengan
sangat kencang karna terlalu takut sampai merusak pita suaranya. Aku
benar-benar sadar saat ini bahwa memang tidak ada satupun manusia yang
sempurna. Dia sungguh gadis yang luar biasa” Mendengar Vino kembali
menceritakan gadis itu membuat Melody sangat penasaran. Ia ingin sekali
berjumpa dengan Tania, gadis yang telah membuat Vino kembali tersenyum dan
bersemangat.
“Dia
mengalami itu?? Sungguh gadis yang sangat kuat dan tegar, kalau aku di posisi
dia mungkin jiwaku ikut terguncang karna tidak bisa bicara lagi. Kapan kau mau
mengenalkan ku padanya? Aku sangat ingin bertemu dengannya”
“Nanti
kak, aku mencari waktu yang tepat hahaha” jawab Vino sambil menunjukkan
cengiran nya.
“Hei, seperti biasa ya alunan nada
dari biola mu sangat indah. Aku heran kenapa tidak ada komposer yang sadar akan
bakatmu dan memasukkan kau ke dalam tim orchestra nya haha” Vino menunjukkan
cengiran khas nya pada Tania yang membuat Tania ikut tersenyum.
“Oh iya,
besok kau ada acara tidak? Aku ingin mengajakmu ke bioskop ada film baru yang
kelihatannya menarik. Kau mau kan?”
*Boleh,
kebetulan aku tidak acara* Tania kembali menunjukkan senyum manisnya yang
membuat Vino terdiam sesaat, jantungnya berdegup dengan kencang dan kali ini ia
yakin bahwa dia benar-benar telah jatuh cinta. Tania melambaikan tangan didepan
wajah Vino, ia pun kembali tersadar dari lamunannya.
“A-ah
iya? Oke besok jam 7 malam ya. Oh iya kau mau pulang kan? Biar aku antar saja”
Vino langsung menarik lengan Tania, dan berpamitan pada Martin.
Sepanjang perjalanan Vino hanya
terdiam, tidak seperti Vino yang biasanya yang selalu menceritakan hal-hal lucu
atau menceritakan kehidupannya dengan kakaknya. Walau Tania tidak bisa merespon
semua cerita Vino dengan kata-kata tapi Vino bisa melihat respon di wajah Tania
dari kaca spion motornya. Setelah 10 menit, mereka sampai, Tania turun dan
mengisyaratkan terima kasih pada Vino dan mengetuk kaca helmnya yang gelap,
tetapi Vino tetap terdiam dan malah memegangi dadanya yang terlihat naik turun
dengan cepat dan yang memburu. Tania menjadi begitu panik, ia langsung berlari
ke dalam meminta bantuan pada ibunya dan menggopoh Vino ke kursi di teras rumah
mereka.
“Ibu
ke rumah Pak Dani dulu meminta tolong padanya agar mengantar kita ke rumah
sakit.” Ucap Ibu Tania dan langsung berlari menuju rumah Pak Dani. Tania hanya
mengangguk dan memberikan minyak angin pada Vino, ia benar-benar panik dan
tidak tahu harus berbuat apa. Ibunya pun kembali, mereka segera membawa Vino ke
rumah sakit terdekat dengan bantuan Pak Dani. Sepanjang perjalanan Tania terus
memandangi Vino yang berada disamping nya sudah tidak sadarkan diri, matanya
berkaca-kaca dan air matanya mulai mengalir di kedua pelupuknya.
Melody berlari menuju ruang dimana
tempat Vino dirawat di rumah sakit itu, Ibu Tania telah menghubungi nya ketika
menemukan handphone di saku jaket Vino dan melihat “Kakak” pada kontak nya.
“Hh-hh..bagaimana
keadaan Vino?” kata melody pada Tania dan ibunya sambil mengatur napasnya.
“Dokter
sedang memeriksa nya di dalam, kita hanya bisa berdoa agar ia baik-baik saja”
jawab Ibu Tania sedangkan Tania masih terduduk di bangku tunggu dan terisak.
“Terima
kasih atas bantuan anda membawa adik saya ke rumah sakit.” Melody merundukkan
kepala nya dan melihat gadis yang sedang duduk, kemudian ia menghampirinya.
“Kau...Tania
ya?” Tania langsung menoleh ketika namanya disebut.
“Vino
sering sekali menceritakan tentang dirimu, terima kasih telah banyak membantu
adik ku, perkenalkan aku Melody” Melody tersenyum dan menjulurkan tangan nya,
Tania menyambut hangat tangannya sambil tersenyum. Setelah 3 jam mereka
menunggu, akhirnya dokter keluar dari ruangan.
“Bagaimana
keadaan Vino dok? Dia baik-baik saja kan?” Tanya Melody dengan cemas,
“Untung
saja kalian cepat membawanya ke rumah sakit. Anda keluarganya?”
“Iya
saya kakaknya dok” jawab Melody dengan cepat.
“Kalau
begitu mari ke ruangan saya, ada sesuatu yang perlu saya bicarakan padanya”
mereka pun menuju ke ruang dokter.
“Saat
ini ia memang sudah siuman, tapi kondisinya tidak baik jantungnya semakin
melemah. Seharusnya ia rajin terapi jantung” kata dokter sambil memberikan
hasil pemeriksaan Vino pada Melody.
“t-tapi
masih bisa diatasi kan dok???”
“Saya
harus mengatakan ini walau berat, tapi...perkiraan waktu dia tidak lama lagi.
Kemungkinan ia sembuh sangat kecil, yang bisa kita lakukan hanya melakukan
perawatan intensif dan terapi untuk mengurangi rasa sakitnya” Melody bagai
tersambar petir mendengar semua perkataan dokter dan membuat sekujur tubuh Melody
lemas, air matanya deras mengalir membayangkan semua kemungkinan buruk yang
akan terjadi nanti. Ia sungguh tidak siap jika harus kehilangan adik
satu-satunya.
Melody mengambil handphone dari
sakunya dan mencoba menghubungi orangtuanya tetapi tak ada yang aktif,
‘Sebegitu sibuknya kah mereka? Hingga aku hubungi saja selalu nada sibuk’
Melody benar-benar sangat kesal sekaligus bercampur sedih, ia berjalan dengan
gontai ke kamar Vino, ia melihat Vino Tania dan ibunya sedang bercanda dan ia
menghampiri mereka dengan memasang senyum, ia tidak mau Vino tahu semua itu dan
ia juga tidak sampai hati untuk memberi tahunya.
“Hai
kak, kau darimana?” tanya Vino.
“Aku
dari ruang dokter tadi, oh iya aku sudah mencoba menghubungi ayah dan ibu
tetapi selalu nada sibuk, aku akan mencobanya lagi nanti.” Ucap Melody berusaha
tegar.
Vino
tersenyum miris mendengar tentang ayah ibunya. “Haha, sudahlah percuma
menghubungi mereka kak. Apa yang dokter katakan kak? Aku baik-baik saja kan?”
“Iya,
tapi kau harus dirawat Vin, kau harus terapi.”
“Dirawat?
Yang benar saja aku bisa mati karna bosan disini kak” bibir Vino mengerucut
sebal, tiba-tiba Tania mencolek pundaknya.
*Aku
akan selalu mengunjungi mu disini dan menemani agar kau tidak bosan* Vino pun
tersenyum malu melihatnya, dan ia pun setuju untuk dirawat.
Tania pun setiap hari datang untuk
menemani Vino, memainkan biola membawakan buku cerita dan menasihatinya agar
rajin mengikuti terapi. Sudah hampir dua minggu Vino dirawat, wajahnya semakin
sayup dan lesu, hanya kemajuan kecil yang ia rasakan selama terapi.
“Kak,
kita pulang saja aku lelah begini terus.” Celetuk Vino pada kakaknya yang
sedang mengupas buah untuknya.
“Tidak
bisa Vin, kau harus tetap disini. Memang kau tidak mau sembuh? Dan juga tadi
aku berhasil menghubungi ibu, ia khawatir dengan mu dan dia juga bilang akan
segera kemari bersama ayah.” Jawab Melody, tersirat nada ceria disana. Vino
terdiam ‘Ayah ibu mau kemari? Aku tidak percaya...atau mereka hanya alasan saja
agar kakak berhenti menghubungi nya’ batinnya.
“Vin?
Kok diam?”
“A-ah
iya? Tidak, tidak apa-apa kok. Aku hanya terkejut saja mereka mau datang.
Kak....aku tidak yakin aku akan sembuh, ya maksudku coba saja kau lihat aku? Apakah
selama dirawat aku terlihat lebih baik? Aku merasa diriku sebelum dirawat malah
jauh lebih baik ketimbang saat ini. Aku pikir ini semua hanya membuang waktu,
ditambah lagi mimpi ku yang semalam itu seperti sangat nyata.” Vino memelankan
suaranya.
“Memang
kau mimpi apa?”
“Aku
mimpi...aku telah meninggal kak, aku melihat tubuhku terbaring diranjang ini dan
aku juga melihat kau bersama yang lain menangisi ku” katanya sambil menundukkan
kepalanya. Melody terdiam mendengarnya, kata-kata dokter itu seakan terngiang
kembali di telinganya, ia langsung memeluk erat adiknya sambil menangis.
“Kau
tidak boleh bicara seperti itu, kau akan sembuh dan kau pasti sembuh Vin! Itu
hanya mimpi kau tidak perlu takut.” Pelukannya semakin erat seakan tidak ingin
sedetik pun meninggalkan adiknya.
“Iya,
baiklah aku akan tetap dirawat sudah kau jangan menangis lagi. Aku sangat
menyayangi mu kak” Vino membalas pelukan kakaknya dengan hangat.
Esok paginya, waktu menunjukkan
pukul 10 pagi dan tidak seperti biasanya Tania sudah mengunjungi nya. “Hai,
tumben masih pagi sudah kemari. Kau merindukan ku?” Tania hanya tersenyum
mendengar perkataan Vino. Ia membawakan beberapa majalah dan buku untuknya.
“Wah
tempat-tempat wisata ini indah sekali, ah aku jadi ingin liburan andai saja aku
tidak perlu dirawat disini.” Bibir Vino mengerucut sebal membuat Tania kembali
tersenyum.
*Maka
itu kau harus cepat sembuh, kalau kau sudah sembuh aku janji akan menemani kau
liburan*
“Benarkah?
Ah tapi itu pasti lama sekali. Aku ingin sekarang, bosan disini terus. Kita
pergi sekarang ya?” rengek Vino seperti anak kecil pada Tania, membuat Tania
bingung disatu sisi ia harus melarang Vino tapi disisi lain dia kasihan
dengannya yang begitu letih dan bosan akibat terapi-terapi yang dijalaninya.
“Ayolah,
hari ini saja mumpung kakak ku juga sedang ada jadwal seharian ini.” Vino
kembali merengek dan memandangi nya penuh harap.
*Baiklah,
tapi kau tidak boleh terlalu capek dan bawa obatmu ok?*
“Siaapp”
Vino menunjukkan cengiran lebarnya.
Setelah berhasil mengendap-endap
keluar dari rumah sakit, mereka memilih taman hiburan untuk tujuannya. Vino
ceria sekali seperti anak kecil yang sedang diajak berwisata, mulai dari
mencoba permainan di stand, mencoba gula-gula sampai ia sering sekali menarik
lengan Tania untuk mencoba wahana-wahana disana, tentu yang aman untuk
kondisinya. Tidak terasa, mereka sudah seharian berada disana langitpun sudah
berwarna jingga.
*Ayo
kita pulang, aku takut kakakmu telah kembali* ajak Tania
“Yah..habis
naik bianglala ya? Pemandangan akan sangat indah jika kita berada diatas sana
pada sore hari.” Kata Vino sambil menunjuk keatas puncak bianglala, ia langsung
menarik kembali lengan Tania ke bianglala itu tanpa persetujuan darinya dan
tanpa sadar mereka sudah ada di dalam salah satu bilik bianglala itu. Selama
bianglala berputar Tania cemas dan takut bila
tiba-tiba Vino kambuh dan Melody telah kembali ke kamar Vino dirumah
sakit.
“Lihat
pemandangan nya sangat indah bukan?” kata Vino sambil menunjuk keluar kaca,
Tania mencoba melihat keluar dan memang benar sangat indah, lampu kota mulai
menerangi suasan yang semakin gelap itu, terlihat sunyi dan tenang dari atas
sana.
“Kau tau
tidak? Saat aku kecil dulu, aku mempunyai keinginan akan membawa orang yang
istimewa bagiku untuk melakukan ini.” Tania langsung menoleh ke arah Vino yang
kini bersandar pada kursi, terlihat wajahnya yang begitu lelah dan matanya yang
sayup tetapi terukir senyum bahagia disana.
“Iya
istimewa, bagiku kau sangat istimewa. Kau gadis yang luar biasa, aku mengagumi
mu bahkan aku... menyukaimu. Terima kasih telah mengajari ku banyak hal selama
tiga bulan kita kenal ini, i love you Tania” Wajah Vino memerah dan jantungnya
berdegup kencang saat mengatakan semua itu. Tania menjadi salah tingkah
mendengarnya, tentu ia juga menyukai laki-laki yang ada disampingnya itu.
Tetapi ia tidak pernah berpikir bahwa Vino juga menyukainya yang baginya
dirinya itu sangat biasa juga bisu, Vino bisa mendapat gadis yang jauh lebih
baik darinya.
*Apakah
kau tidak malu jika pergi denganku? Aku sangat biasa* Vino tertawa pelan
melihatnya.
“Kenapa
aku harus malu? Aku tulus menyayangi mu, kau tidak biasa justru kau luar biasa.
Aku sangat beruntung bertemu denganmu.” Jawab Vino dengan tegas tetapi dengan
nada lemah karena kondisinya yang ia rasa semakin buruk saat itu.
*I...i
love you too* Vino sangat bahagia melihat Tania memberikan isyarat itu padanya.
Ia bahagia karna gadis yang ia cintai juga mencintainya.
“Terima
kasih telah datang ke kehidupan ku.” Vino memeluknya erat dan membisikkan
kata-kata itu padanya. Tania tersenyum haru mendengar dan membalas pelukannya.
Handphone disaku jaket Vino tiba-tiba berdering. “dari kakak, sebentar ya.”
Vino pun mengangkatnya.
“Halo,
Vino kamu dimana?! Kenapa kau keluar tanpa memberi tahu kakak? Kau pergi
sendiri? Cepat kembali ayah ibu juga sudah datang, mereka mengkhawatirkan mu.”
Pertanyaan bertubi-tubi pun diluncurkan oleh Melody.
“Aku..aku
ada di taman ria dekat rumah sakit kok, aku bersama Tania. Iya ini juga aku
akan kembali.”
“Kau
tunggu saja disana kami yang akan menjemputmu.” Tiba-tiba terdengar suara
laki-laki yang tidak asing bagi Vino, kali ini bukan Melody yang bicara tetapi
ayahnya. Ayahnya yang begitu ia rindukan. Vino hanya terdiam dan mengakhiri
pembicaraan itu tanpa menjawab sepatah kata. Bianglala sudah berputar dua kali
dan itu tandanya giliran mereka telah berakhir, mereka pun keluar dari bilik
itu.
“Ayo,
kita tunggu di pintu keluar saja, kakak akan menjemput kita.” Vino menggandeng
tangan Tania menuju pintu keluar, Tania hanya terdiam.
“Kau
tidak perlu cemas, aku tidak apa-apa hanya letih makanya aku berjalan pelan. Aku
yang akan menjelaskan ke semuanya bahwa aku yang memaksa mu menemani ku.”
Mereka duduk disalah satu bangku
taman dekat situ menunggu keluarga Vino datang. Terlihat wajah Vino yang semakin
pucat. Setelah 10 menit menunggu, keluarga Vino pun datang.
“Kau
tidak apa-apa kan sayang?” Ibu Vino langsung memeluk Vino dan menggeser posisi
duduk Tania.
“Kau
siapa?? Beraninya mengajak keluar Vino, kau tahu kan kondisinya!” Ibu Vino
membentak Tania yang ada disampingnya.
“Ibu!
Jangan salahkan Tania, aku yang memaksanya untuk menemani ku.” Bela Vino.
Mereka pun langsung membawa Vino yang mulai kehilangan kesadarannya masuk ke
mobil.
“Tidak
apa-apa, ini bukan salahmu. Mereka memang seperti itu, tolong maafkan orangtua
ku.” Melody mengelus punggung Tania yang mulai terisak. “Sudah ayo kita juga ke
rumah sakit, naik mobilku saja.” Melody mengajak Tania ke mobilnya dan menyusul
ke rumah sakit.
Terlihat disana kedua orangtua Vino
menunggu dengan cemas didepan ruangan, saat ini keadaan Vino sangat kritis.
“Ini semua karna mu!” Maki Ibu Vino saat melihat Tania. “Ibu cukup! Ini bukan
salah Tania, justru dialah yang membuat Vino kembali bersemangat, dialah yang
mengembalikkan senyum di wajah Vino. Kemana kalian selama ini? Kenapa baru
sekarang kalian mengkhawatirkan keadaan nya? Apa kalian tidak sadar selama ini
kalian telah menelantarkan aku dan Vino” Nada bicara Melody meninggi, air
matanya mulai mengalir mengeluarkan seluruh emosi yang ada di dirinya. Kedua
orangtua Vino terdiam, mereka sadar memang benar selama ini mereka tidak pernah
ada waktu untuk anak-anaknya. “Kau benar...maafkan kami yang begitu egois,
maafkan kami yang tidak pernah ada waktu untuk kalian, maafkan kami Tania telah
salah menilai mu.” Kata kedua orangtua Vino sambil terisak. Tak lama dokter
keluar dari ruangan.
“Kami
telah melakukan semampu kami tapi maaf....nyawa Vino tidak bisa terselamatkan.”
Kata-kata itu sukses membuat mereka yang mendengarnya menangis dan langsung
berhambur masuk ke ruangan. Terlihat disana Vino sudah terbaring pucat. Melody
langsung terduduk, lututnya begitu lemas tidak kuat melihat apa yang ada
didepannya, air mata mengalir deras dari kedua pipinya. Kedua orang tua Vino
masih terus menggoyangkan tubuhnya sambil memanggil namanya berharap ia akan
bangun, sementara Tania berdiri mematung memandangi orang yang dicintainya kini
terbujur kaku, air matanya berlinang namun ia menangis dalam diam tak ada suara
yang keluar dari bibirnya. Baru saja ia
melihat Vino yang amat bahagia, kini ia telah pergi begitu saja.
“Kau
adalah orang istimewa untukku....Terima kasih telah datang ke
kehidupanku....Aku sangat menyukaimu” Kata-kata itu terngiang kembali di
telinga Tania, kini ia berada tepat didepan batu nisan orang yang dicintainya
itu. Upacara pemakaman berjalan dengan lancar, orang-orang telah kembali pulang
dan saat ini tinggal Tania, ibunya dan keluarga Vino.
“Rasanya
baru kemarin aku melihatnya tampil dipementasan sekolah, ia pergi begitu
cepat.” Kata Melody dengan senyum getir yang berada disamping nya memandangi
batu nisan itu. Tania mengelus punggung Melody untuk menenangkan nya.
“Tania,
sekali lagi terima kasih telah mengubah Vino kembali menjadi anak yang baik.”
Tania hanya mengangguk dan tersenyum.
“Ayo
mari kalian kami antar pulang” kata ayah Vino pada Tania dan ibunya. “Terima
kasih” jawab Ibu Tania sambil tersenyum dan mengajak Tania “Ayo Tania”
*Sebentar*
Tania kembali memandangi batu nisan itu dan mengusap-usapnya. ‘Terima kasih
juga kau telah hadir di hidupku, terima kasih kau mau menerima ku apa adanya.
Selamat jalan Vino, cinta pertama ku, aku tak akan melupakan mu.’ Tania mencium batu nisan itu dan bangkit ke
arah ibunya dan mereka pun beranjak meninggalkan pemakaman itu.
-END