1. FENOMENA DEPRESI
Depresi pada orang normal diartikan sebagai keadaaan murung (kesedihan,
patah hati, dan patah semangat) yang ditandai dengan perasaan tidak puas,
menurunnya aktivitas, dan pesimisme dalam menghadapi masa depan. Depresi pada
abnormal dapat diartikan sebagai ketidakmauan yang ekstrim untuk merespons
stimulus dan disertai menurunnya nilai diri, ketidakmampuan, delusi dan putus
asa (Chaplin, 1995).
a. Teori Depresi
·
Teori depresi biologi ini
menyimpulkan bahwa faktor penyebab depresi sebenarnya bersumber pada gen
seseorang , dan ketidakberfungsian beberapa fisiologi dalam tubuh yang
memungkinkan mampu melahirkan depresi (dalam Sarason dan Sarason,1989).
·
Dalam pandangan
psikodinamika Sigmund Freud dan Karl Abraham depresi merupakan reaksi kompleks
terhadap suatu kehilangan atau loss.
·
Menurut teori depresi
behavioral, orang yang mengalami depresi menerima hukuman (punishment) daripada
orang yang tidak mengalami depresi (dalam Sarason dan Sarason,1989). Mereka
yang mengalami depresi akan dikucilkan dan dijauhi. Tindakan seperti itu, jika
dilakukan secara terus menerus oleh lingkungannya akan semakin memperparah
tingkat depresi penderita.
·
Teori
depresi kognitif merupakan
teori depresi yang paling banyak dipilih para peneliti. Teori depresi kognitif
dinilai sangat efektif jika digunakan untuk bahan terapi penderita depresi.
Teori ini menyatakan bahwa seseorang yang selalu berpikiran negatif tentang
dirinya memiliki kecenderungan untuk depresi.Berbeda dengan yang selalu
berpikiran positif terhadap dirinya. Orang yang selalu berpikiran negatif
selalu menganggap semua yang dilakukannya adalah salah dan tak bermanfaat,
mereka menganggap diri sendiri sebagai sosok yang lemah.
b. Penyebab Depresi
Dibawah ini terdapat beberapa penyebab dari
depresi, yaitu :
1. Penyebab Fisiologis
(ketidakseimbangan zat kimia dalam tubuh, masalah fisik, genetik, jenis
kelamin, obat-obatan).
2. Penyebab Psikologis
(karakteristik, pemikiran irasional, keputus-asaan, stress emosional dan fisik
yang berkepanjangan).
3. Penyebab Lingkungan
(kehilangan, kegagalan, peran sosial).
c. Analisis Kasus (Fenomena Depresi Para Caleg Pasca Pileg 9 April 2014)
Para caleg saling memperebutkan tiket
untuk menuju kursi kekuasaan baik di DPRD maupun DPR RI pusat. Mereka saling
berlomba untuk mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. Demi mendapat suara
terbanyak mereka rela mengeluarkan uang ratusan juta bahkan miliyaran rupiah
demi sebuah jabatan dan kekuasaan. Mereka berlomba-lomba menyuap masyarakat dengan
uang agar mereka dipilih, namun masyarakat sekarang sudah semakin cerdas,
mereka diberi uang pasti diterima akan tetapi entah siapa yang dipilih dalam
pileg. Akibatnya setelah pileg yang sudah dilaksanakan pada 9 April lalu,
banyak para caleg mengalami depresi berat bahkan terkena gangguan jiwa karena
mereka sudah mengeluarkan uang ratusan juta bahkan miliyaran rupiah akan tetapi
mereka gagal dalam pileg dan itu artinya mereka gagal terpilih menjadi pejabat
pemerintah, ada yang menuntut uang yang sudah disebar ke masyarakat untuk
dikembalikan lagi, ada yang memblokir jalan umum, ada yang ngamuk di TPS, ada
yang teriak-teriak, bahkan ada yang benar-benar gila yang sok memakai jaz
dengan dasi dan sepatu layaknya seorang pejabat dengan bicara yang tidak jelas.
Hal ini sangatlah disayangkan dan tentunya sangatlah memprihatinkan
karena hanya akibat gila kekuasaan, malah mengakibatkan mereka
benar-benar gila mental dan jiwanya.
Pada kasus ini, terlihat sekali
bahwa para caleg yang gagal dalam pileg mengalami depresi berat terdapat factor
psikologis dan lingkungan yang mereka alami. Penyebab psikologisnya adalah
stress emosional dan fisik yang mereka alami pasca pileg yang berkepanjangan,
mereka tidak menerima kenyataan bahwa mereka telah gagal terpilih dan uang yang
mereka hamburkan ratusan juta bahkan milyaran lenyap begitu saja dan menyisakan
harapan kosong bagi mereka, dan penyebab lingkungannya adalah kegagalan yang
mereka alami, mereka menetapkan tujuan yang tinggi yaitu sebagai anggota DPRD
atau DPR RI dalam waktu yang singkat, menghamburkan banyak uang untuk menyuap
masyarakat agar memilih mereka tetapi hasil dan kenyataan yang mereka terima
jauh dari apa yang mereka harapkan.
2. HUBUNGAN KESEHATAN MENTAL DENGAN RELIGIUSITAS
Pengertian agama menurut J.H. Leuba,
agama adalah cara bertingkah laku, sebagai system kepercayaan atau sebagai
emosi yang bercorak khusus. Sedangkan definisi agama menurut Thouless adalah
hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang dia percayai sebagai makhluk
atau sebagai wujud yang lebih tinggi dari manusia. Agama dapat memberi dampak
yang cukup berarti dalam kehidupan manusia, termasuk terhadap kesehatan. Orang
yang sehat mental akan senantiasa merasa aman dan bahagia dalam kondisi apapun,
ia juga akan melakukan introspeksi atas segala hal yang dilakukannya sehingga
ia akan mampu mengontrol dan mengendalikan dirinya sendiri. Solusi terbaik
untuk dapat mengatasi masalah-masalah kesehatan mental adalah dengan mengamalkan nilai-nilai agama dalam
kehidupan sehari-hari, kesehatan mental seseorang dapat ditandai dengan
kemampuan orang tersebut dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya, mampu
mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sendiri semaksimal mungkin
untuk menggapai ridho Allah SWT, serta
dengan mengembangkan seluruh aspek kecerdasan, baik kesehatan spiritual, emosi
maupun kecerdasan intelektual.
Agama sebagai fitrah manusia telah diinformasikan oleh
Al-Qur’an.Fitrah manusia sebagai makhluk ciptaan Allah SWT ialah manusia
diciptakan mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia
tidak beragama tauhid, maka tidak wajar, mereka tidak beragama tauhid itu hanya
karena pengaruh lingkungan, seperti yang ada dalam QS.Ar Rum:30-31. Hubungan antara
agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri
seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap tersebut akan
memberikan sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif
seperti rasa bahagia, puas, sukses, merasa dicintai, atau merasa aman. Sikap
emosi yang demikian merupakan bagian dari kebutuhan hak asasi manusia sebagai
makhluk yang ber-Tuhan. Maka dalam kondisi tersebut manusia berada dalam
keadaan tenang dan normal. Ajaran agama mewajibkan penganutnya untuk
melaksanakan ajrannya secara rutin. Bentuk dan pelaksanaan ibadah agama, paling
tidak akan dapat berpengaruh dalam menanamkan keluhuran budi yang pada
puncaknya akan menimbulkan rasa sukses sebagai pengabdi Tuhan yang setia.
Tindak ibadah setidak-tidaknya akan memberi rasa bahwa hidup menjadi lebih
bermakna. Manusia sebagai makhluk yang memiliki kesatuan jasmani dan rohani
secara tak terpisahkan memerlukan perlakuan yang dapat memuaskan keduanya. Psikologi
agama adalah salah satu bukti adanya perhatian khusus para ahli psikologi
terhadap peran agama dalam kehidupan serta kejiwaan manusia. Pendapat yang
paling ekstrem tentang hal tersebut masih menunjukkan betapa agama sudah
dinilai sebagai suatu bagian dari kehidupan pribadi manusia yang sangat erat
kaitannya dengan gejala-gejala psikologis. Dalam beberapa bukunya, bapak
psikoanalisa Sigmund Freud, yang dikenal sebagai pengembang psikoanalisis
mencoba mengungkapkan hal itu. Agama menurut Freud tampak pada perilaku manusia
sebagai suatu simbolisasi dari kebencian terhadap ayah yang direfleksikan dalam
bentuk rasa takut kepada Tuhan.
Sumber :
Lumongga lubis, Namora. 2009. Depresi Tinjauan Psikologis. Jakarta:
Kencana
Riyanti, B.P. Dwi & Hendro Prabowo. 1998. Psikologi Umum 2. Jakarta: Universitas
Gunadarma.
Jalaluddin. 2010. Psikologi Agama. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada